.

Jaringan Damai Papua (JDP) Sarankan Konflik Papua Dituntaskan Melalui Pembicaraan Damai

KOTA JAYAPURA - Jaringan Damai Papua (JDP) menggelar diskusi publik dengan thema; “Dialog Papua – Jakarta dan Pemilu 2014” Senin (15/04/2013) pukul 14.00 WIT, di Aula Sekolah Tinggi Fajar Timur (STFT), Jalan Yakonde, Padang Bulan, Kota Jayapura.

Salah satu pembicara adalah  Pastor DR. Neles Tebay ,Pr  Kordinator JDP  sekaligus sebagai pemrakarsa  dialog Jakarta-Papua. Neles Tebay, dalam kesempatan itu mengatakan, pada tahun 2013 ini merupakan tahun khusus bagi rakyat Papua, karena konflik antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua telah memasuki usia yang ke-50, yakni 1 Mei 1963 s/d 1 Mei 2013. Dan, konflik ini belum bisa dituntaskan secara komprehensif. “Jadi, tahun 2013 ini bagi orang asli Papua (OAP) atau rakyat Papua merupakan tahun yang khusus, dikarenakan pada tahun 2013 ini konflik antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua itu memasuki usia yang ke-50 (1 Mei 1963 s/d 1 Mei 2013).

Dimana, konflik tersebut hingga saat ini belum bisa dituntaskan secara komprehensif, yaitu ada beberapa indikator yang memperlihatkan masih adanya konflik seperti pengibaran Bendera Bintang Kejora, adanya tunturan referendum maupun tuntutan Papua Merdeka, adanya stigma separatis yang diberikan khusus kepada orang asli Papua. Sehingga inilah indikator dari konflik tersebut,” ungkapnya.

Selain itu,  juga masih sering terjadinya kasus kekerasan, terutama penembakan yang menewaskan baik itu warga sipil, TNI/Polri. “Jadi, semua ini bagi saya merupakan indikator yang memperlihatkan bahwa konflik Papua dengan Indonesia itu masih ada sampai saat ini,” katanya.

Menurutnya, pemerintah sudah menerapkan 3 cara untuk menangani konflik Papua dan Pusat. Pertama, mengedepankan hukum, contohnya kalau ada bendera Bintang Kejora yang berkibar, siapa pelakunya untuk dicari dan ditangkap serta dipenjarakan. Nanti saat pelaku pengibar bendera Bintang Kejora itu bebas, kemudian dia lakukan lagi pengibaran bendera Bintang Kejora itu. “Dimana, saya menilai hukuman seperti itu tidak mempan.

Tapi, pendekatan hukum seperti menangkap dan memenjarakan itu dilaksanakan. Kedua adalah menggunakan cara kekerasan, seperti pembunuhan tokoh – tokoh Papua yaitu Alm. Theys Hiyo Eluay, adanya aksi kekerasan dan penembakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Dan yang ketiga adalah menerapkan Undang – Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua,” tuturnya.

Neles mengatakan, penerapan dari UU Otsus itu juga belum mampu untuk menyelesaikan masalah – masalah yang terjadi di Papua selama ini.

“Jadi, berdasarkan penilaian saya ada dua penyebab utama, yakni yang pertama tidak ada rasa memiliki terhadap UU Otsus tersebut baik kepada pihak pemerintah maupun orang asli Papua. Sehingga artinya tidak ada rasa saling memiliki dari UU Otsus itu, dan yang kedua adalah kita tidak mempunyai desain strategi tentang bagaimana UU Otsus itu dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, secara pribadi saya sampai detik ini tidak pernah percaya bahwa UU Otsus itu akan dilaksanakan oleh pemerintah secara efektif dan konsisten, dimana karena ada dua masalah diatas tadi yaitu tidak adanya saling memilik dan desain strategi tentang UU Otsus untuk diimplementasikan secara baik dan benar,” tegas DR. Neles Tebay, Pr. yang telah mendapatkan pengharagaan The Tjik Hackson yaitu seorang Uskup dari Gereja Katolik di Seoul - Korea Selatan (Korsel), dalam memperjuangkan nasib rakyat Papua selama ini.

Jika 2 hal itu tidak ada (saling memiliki dan desain strategi UU Otsus), Neles mengatakan, UU Otsus itu diimplementasikan tapi arah tujuan dari UU Otsus tersebut tidak jelas. Sehingga sangat susah untuk diukur.

“Jadi, berdasarkan pengamatan saya terkait penerapan tiga cara (hukum, masih adanya aksi kekerasan dan UU Otsus) untuk menangani konflik antara orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia itu kedepannya tidak akan menyelesaikan masalah, sehingga memang dibutuhkan suatu solusi yang baru, dimana dalam solusi baru itu tidak boleh dipaksakan dari satu pihak ke pihak yang lain, dan semua pihak yang berkepentingan perlu dilibatkan dalam mencari solusi baru yang bisa diterima dan disepakati oleh semua pihak, yaitu saya percaya solusi baru itu bisa ditemukan melalui jalur dialog damai antara Papua dan Jakarta,” tegasnya.

Maka itu, Neles mengatakan, dari Jaringan Damai Papua (JDP) mendorong dialog Papua – Jakarta sebagai sarana yang bermartabat dalam mencari solusi terbaik bagi penyelesaian konflik – konflik yang masih terjadi saat ini diatas Tanah Papua. “Gagasan dialog Papua – Jakarta ini harus disampaikan oleh semua pihak diantaranya semua orang asli Papua, semua suku yang ada di Papua, kepada orang Papua yang Pro Merdeka, kepada orang Papua yang Pro NKRI, kepada TPN/OPM yang ada di hutan - hutan, orang asli Papua yang berada di luar negeri, kepada DPR RI dan DPD RI, pemerintah pusat, bahkan kalau perlu kita juga harus menyampaikannya kepada Presiden RI. Dan hasilnya hingga detik ini banyak pihak baik di Papua atau di Jakarta sudah bisa menerima gagasan dialog tersebut, dimana semua pihak menghendaki konflik Papua itu diselesaikan bukan dengan cara kekerasan, tapi lewat dialog dengan menyebut istilah berbeda – beda yaitu komunikasi konstrukitf, perundingan, negosiasi. Namun intinya adalah bahwa semua pihak menghendaki konflik Papua dituntaskan melalui pembicaraan damai,” pungkasnya. [BintangPapua]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment