.

Yan Piet Wanma, Sang Pelopor Pendidikan di Sarmi

ARMOPA (SARMI) – Yan Piet Wanma, pria berperawakan kecil dan lincah. Penuh semangat ia menyusuri Kampung Armopa, Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, sore itu. Berkejaran di pesisir kampung bersama cucunya yang kembar tiga.

Tahun 1975 Wanma masuk ke Bonggo. Ia lolos seleksi PNS Provinsi Papua dan menjadi guru di pedalaman Sarmi (Kabupaten Jayapura dulu). Alumnus Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) tahun 1974 ini dikenal sangat disiplin, bicaranya blak-blakan.

Saat tiba di SD Inpres Armopa, sekolah itu baru dibangun. Ada dua guru disana. Hanya setahun berpredikat sebagai guru kelas, ia langsung diangkat menjadi pelaksana kepala sekolah hingga kepala sekolah penuh. Pada tahun 2004, Yan Piet dikukuhkan sebagai pengawas sekolah. Jabatan itu dipegangnya hingga awal 2013.

“Januari kemarin saya mengajukan permohonan pensiun, memang sudah harus pensiun, SK belum  keluar tapi saya sudah mengajukan terlebih dahulu,” katanya.

Di Bonggo, Wanma bukan hanya perintis SD bersama tiga sejawatnya. Dia juga mempelopori didirikannya SMP N 1 Bonggo pada tahun 1983-1984 berdasarkan nota tugas dari Pemda Provinsi Papua. Wanma sebagai koordinator guru SMP 1 ketika itu.

Cara mendidiknya juga unik. Di pagi hari, Wanma dan tiga guru lainnya mengajar di gedung SD. Setelah matahari memuncak, mereka berpindah ke gedung SMP hingga petang. Bahan ajar yakni menggunakan buku paket seadanya. Setelah beberapa lama, pemda Papua mulai mengirim guru untuk ditempatkan di SMP Bonggo. Wanma pun kembali fokus jadi guru SD. “Bonggo sekarang beda, tidak seperti dulu,” katanya.

Dulu, untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia harus menanam umbi sambil menunggu jatah beras yang diantar tiap triwulan dari PD Irian Bakti. Kesulitannya makin bertambah setelah ia menikah pada tahun 1976, dan membawa keluarganya ke Bonggo. “Benar-benar susah,” ujarnya.

Jika hendak ke Kota Jayapura, Wanma menggunakan perahu motor dari arah Bonggo, mengitari Tanjung Tanah Merah dan turun ke APO (kawasan pemukiman di Kota Jayapura). Saat itu belum ada jalur darat. Perjalanan berkisar satu sampai dua hari tergantung cuaca dan kondisi laut.

“Pernah saat ombak besar, perahu kami terbalik, kami hanya mengapung-apung di sepotong pelampung, kami tidak bisa ke darat dan yang dari darat tidak bisa ke laut, sampai ada satu perahu motor yang berani mendekat dan menyelamati kami,” kenangnya.

Setelah jalur darat Demta dibuka, warga dapat lepas bepergian. Sayangnya,  itu juga tidak mudah, karena mereka harus berjalan kaki dari Bonggo sekitar dua hari menuju Demta. Selanjutnya menunggu bus yang akan ke Jayapura.

Mansar Wanma menggeluti profesi guru – puluhan tahun lalu – hingga pensiun memilih menetap di Bonggo. “Kampung saya, Andey di pulau Numfor Kabupaten Biak Numfor, sama dengan di sini, di pesisir dan menghadap ke laut Pasifik,” katanya sembari memandang ombak yang menggulung berlapis-lapis di Pantai Armopa.

Wanma berharap, guru-guru muda saat ini, dapat bekerja dengan disiplin. “Anak pintar atau tidak tergantung guru. Guru harus tunjukan tanggungjawabnya, jangan terima SK tapi tidak mau mengajar. Kita semua harus serius dengan pendidikan,” tukasnya. [AlDP| ALDP]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment