.

Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Minta Kejati Papua Selidik Dana Hibah Papua Barat

MANOKWARI – Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, provinsi Papua Barat menilai kuat telah terjadi indikasi dugaan tindak pidana korupsi yang merambah pada aspek pengelolaan dana hibah di pemerintah provinsi (Pemprov) Papua Barat.

“Indikasi terjadi terutama untuk penyaluran dana hibah yang menjadi lahan tindak pidana pencucian uang,” kata direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada Papua Pos, Minggu (04/08/2013).

Menurutnya, adanya indikasi kuat sejumlah yayasan dan organisasi kemasyarakatan, termasuk organisiasi kepemudaan dan organisasi olahraga seperti KONI yang menerima dana hibah ratusan milyar rupiah, namun tidak jelas peruntukannya dan pemanfaatannya bagiu kepentingan masyarakat yang menjadi konstituennya.

Ia juga katakan, sejumlah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah daerah Provinsi Papua Barat telah membentuk yayasan-yayasan untuk tempat dimana dana hibah di provinsi ini dapat disalurkan. “Kami nilai banyak penggunaan dan pemanfaatan dana hibah yang sangat tidak jelas, bahkan terindikasi kuat terjadi pencucian uang dan korupsi,” ujarnya.

Terkait ini pihaknya mendesak Kejaksaan Tinggi Papua (Kejati) untuk segera melakukan tindakan penyelidikan berdasarkan amanat Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pihak LP3BH juga menyarankan agar upaya penyelidikan terhadap dugaan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam pengelolaan anggaran dana hibah di pemerintahan provinsi Papua Barat dapat melibatkan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Papua Barat. Selain itu mendengar keterangan dari sejumlah Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPR PB) yang juga mengetahui proses penganggarannya sejak awal.

Ia juga mengemukakan, Tindak pidana korupsi pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Papua Doberay Mandiri (PADOMA) Papua Barat sebesar Rp22 miliar dan melibatkan politisi dan pejabat, hendaknya dapat dijadikan pelajaran bersama.

"Pelajaran yang saya maksudkan dalam konteks pemahaman dan pengetahuan yang cukup baik dan luas mengenai kewenangan pejabat publik dalam menggunakan dan mengelola anggaran," kata Yan.

Utamanya adalah dalam konteks tata kelola anggaran publik, sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur daalam aturan perundangan yang berlaku, ujarnya.

Pelajaran lain dalam hal memahami dengan sungguh akan adanya norma dan sanksi serta pengertian dari definisi hukum mengenai apa yang dimaksudkan di dalam tentang perbuatan pidana [(delik) korupsi.

Pidana korupsi yang telah diatur, lanjut Yan, dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan adanya pemahaman yang sungguh dan baik mengenai aturan hukum tersebut, menurut Yan maka kita sebagai warga masyarakat maupun terutama sebagai pejabat publik, anggota parlemen atau aktivis politik mampu memahami posisinya.

“Kita juga berupaya dapat mencegah sedini mungkin adanya indikasi dari perintah atau tindakan atau tugas yang bisa berujung pada terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri,” imbuhnya.

Ia menyebutkan, sebagai contoh dalam perkara Rp22 Miliarr dana BUMD PT.PADOMA yang telah dipinjam oleh anggota DPR Papua Barat melalui Sekretaris Daerah (waktu itu) Ir. Marthen Luther Rumadas, M.Si dan konon telah dikembalikan kepada PT. PADOMA sampai lunas.

“Dari sisi pandangan awam, seperti muncul dalam demo sejumlah anggota DPR Papua Barat minggu lalu bahwa dana yang dipinjam sudah dikembalikan, lalu kenapa Ketua DPR PB Josep Johan Auri masih ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, ya ini menjadi pertanyaan masyarakat,” ungkap Yan.

Ia mengakui, sebagai advokat ia hanya menjawab singkat saja karena masalah ini persoalan hukum, yaitu karena tindakan meminjam uang tadi tidak dibenarkan secara hukum.

Karena uang Rp22 M yang ada di PT.PADOMA, itu bukan uang milik PT.PADOMA, tapi adalah uang pemerintah daerah Papua Barat yang disetor sebagai Setoran Modal dalam investasi melalui BUMD tersebut, ujarnya.

Oleh sebab jika itu adalah uang milik PT. PADOMA sebagai sebuah perusahaan, maka penyidik dan penyelidik tindak pidana korupsi (tipikor) Kejati Papua tidak bisa serta merta menjerat Pimpinan dan para anggota DPR PB dengan tuduhan korupsi.

Di lain pihak, Kejati Papua menahan Ketua DPR PB bersama mantan Direktur Utama PT.PADOMA H.Mamad Suhadi dan mantan Sekretaris Daerah Papua Barat Ir. Marthen Luther Rumadas, M.Si saat ini dikarenakan adanya alasan hukum, ungkapnya.

Alasan hukum itu, lanjut Yan, pertama, karena Kejati Papua telah menemukan indikasi kuat bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki andil masing-masing dalam proses penyelewengan keuangan daerah, sehingga patut ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Sedangkan alasan kedua, menurut Yan, karena telah ditetapkan sebagai tersangka, maka berdasarkan hukum acara pidana (UU No. 8 Tahun 1981), Kejati Papua sebagai Penyidik memiliki kewenangan hukum dan alasan untuk bisa menahan atau tidak menahan mereka.

"Sehingga masalah hukum ini dihormati oleh kita semua sebagai bagian dari rakyat Papua yang menginginkan adanya penindakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri demi menyelamatkan keuangan daerah," kata Yan Warinussy. [Antara/PapuaPos]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment