.

Koalisi: Revisi SK Pelepasan Hampir 800 Ribu Hektar Hutan Papua

JAKARTA - “Hutan konservasi dan hutan lindung tak boleh diganggu gugat.” Begitu pernyataan yang kerab diungkapkan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan. Ungkapan ini juga diucapkan saat dia hadir dalam peluncuran kampanye Greenpeace 2013, minggu lalu. Faktanya? Perubahan fungsi kawasan hutan dari lindung maupun konservasi masih terjadi. Satu contoh di Papua, lewat SK 458 tahun 2012, lebih dari 700 ribu hektar kawasan hutan, mayoritas berada di hutan lindung dan konservasi, “berganti wajah.”

Untuk itu, Koalisi Ornop Indonesia untuk Hutan dan Iklim mendesak Presiden dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) merevisi SK Menhut Nomor 458 tahun 2012 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan ini. Koalisi juga meminta Presiden segera mengeluarkan kebijakan perpanjangan moratorium berbesis capaian karena akan berakhir Mei tahun ini. Terakhir, mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) konsisten dan memperkuat penyelamatan hutan yang tersisa.

Kiki Taufik, Kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia mengatakan, dari analisis spasial terlihat perubahan fungsi kawasan hutan di Papua dari lindung dan konservasi ke produksi seluas 392.535 hektar. “Itu jika dilihat di peta ada dekat perbatasan Papua dan PNG,” katanya di Jakarta, Kamis(14/3/13).

Lalu, perubahan fungsi kawasan hutan jadi bukan hutan seluas 376.535 hektar. Ada, perubahan dari non ke hutan ke kawasan hutan, dengan luasan kecil, hanya 41. 743 hektar. “Dengan analisis ini kita ingin tunjukkan ada beberapa ratus ribu hektar hutan sangat riskan perubahan. Ini kesimpulan yang didapat.”

Senada dengan Teguh Surya, Juru Kampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia. Menurut dia, Presiden dan Kemenhut segera merevisi SK itu. “Revisi bagaimana fungsi hampir 800 an hektar kawasan itu kembali ke kawasan hutan terutama konservasi dan lindung,” katanya.

Dengan perubahan hutan lindung ke non lindung, Papua akan kehilangan kawasan yang berfungsi ekologis, seperti kawasan penyimpanan air. “Ini kawasan yang memang tidak tergantikan.” Dia mengatakan, perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah, terhadap lingkungan. Komitmen pemerintah, seolah-olah terpisah dengan jaminan pengelolaan hutan untuk lingkungan.

Bukan itu saja, rujukan perubahan kawasan hutan selalu tak jelas. “Data dan metodologi untuk perubahan fungsi kawasan ga jelas. Proses konsultasi publik juga tidak ada,” ucap Teguh. SK Menhut ini, ujar dia, memang tak menyalahi Inpres moratorium hutan dan gambut secara langsung. Namun, aturan ini seakan-akan sebagai tempat menyiapkan izin-izin baru yang akan keluar setelah Inpres moratorium selesai.

Anggalia Putri, Koordinator Program HuMA mengingatkan, jika ini alarm bagi hutan Papua.  “Jawa, Sumatera dan Kalimantan, hutan sudah terkikis. Kalimantan 70 persen dibebani konsesi. Sulawesi MP3EI masuk salah satu koridor tambang.”

SK Menhut ini, juga tidak sinergis dengan komitmen penyelamatan hutan. “Juga janji penghormatan hak masyarakat adat. Yang paling bahaya alih fungsi dari hutan lindung dan konservasi ke hutan produksi.” Teguh dan Anggalia berpandangan sama, jika hutan Papua bukan hanya tempat masyarakat menggantungkan hidup juga ‘rumah’ budaya. “Jika dirusak sama juga merusak entitas adat Papua,” kata Teguh. [Mongabay]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment