.

Sarang Penyu Belimbing di Papua Barat Musnah 78% Dalam Tiga Dekade

ABUN (TAMBRAUW) - Jumlah sarang penyu belimbing (Dermochelys coriacea) di Pantai Jamursba Medi, Papua Barat , Indonesia yang menjadi rumah bagi 75% penyu belimbing di perairan barat Pasifik telah musnah sebanyak 78% dalam 29 tahun terakhir.

Di tahun 1984, sarang penyu belimbing di pantai ini berjumlah sekitar 14.455 dan kini tinggal tersisa 1.532 sarang di tahun 2011. Kurang dari 500 ekor penyu balimbing bersarang di lokasi ini saat ini.

Hasil penelitian ini ditemukan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh sebuah tim gabungan yang terdiri dari Universitas Negeri Papua, WWF Indonesia, National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat, National Marine Fisheries Services Amerika Serikat dan University of Alabama, Birmingham. Studi ini sendiri sudah dimuat di jurnal online milik Ecological Society of America bernama Ecosphere  tanggal 26 Februari 2013.

Jika angka ini terus berkurang dan tidak dilakukan pencegahan lebih lanjut, maka salah satu spesies penyu laut ini akan punah. “Jika mereka terus berkurang, dalam 20 tahun akan sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menghindari kepunahan bagi penyu belimbing,” ungkap Thane Wibbels, Phd, salah satu peneliti dari University of Alabama yang sudah mempelajari penyu laut sejak tahun 1980.

“Artinya jumhal penyu laut itu akan sangat rendah dan spesies itu sangat sulit untuk kembali jumlahnya. Penyu belimbing adalah salah satu satwa yang paling menarik di alam ini, dan saat ini kita melihat dengan mata kepala kita sendiri spesies unik ini tengah menghadapi kepunahan,” tambah Wibbels.

Penyu belimbing bisa tumbuh sangat besar menjadi sekitar 1,9 meter dan mencapai berat sekitar 1 ton. Mereka bisa menyelam hingga mencapai kedalaman 1.200 meter dan bisa berenang untuk bermigrasi menyeberangi lautan Pasifik dari Indonesia menuju ke Pantai Barat Amerika dan kembali lagi ke Indonesia.

Mungkin sulit membayangkan penyu sebesar dan sekuat ini bisa menghadapi resiko punah begitu besar. Ricardo Tapilatu, pakar utama dalam penelitian ini yang juga mahasiswa Ph.D di Depertemen Biologi University of Alabama, melihat selama proses migrasi melintas lautan Pasifik itulah mereka menghadapi berbagai bahay dan resiko besar, misalnya ditangkap dan dibunuh oleh penangkap ikan.

“Mereka bisa menempuh jarak lebih dari 7.000 mil laut, atau sekitar 11.300 kilometer melintas wilayah 20 negara, jadi ini sebuah masalah yang kompleks,” ungkap Ricardo. “Menjadi sangat sulit untuk memberlakukan peraturan perikanan yang sama di sepanjang perairan pasifik.”

Tim ini juga sempat menemukan ribuan sarang di jarak beberapa kilometer dari lokasi sarang di pantai Jamursba Medi, namun kegembiraan tim peneliti ini hanya sesaat. “Kami sempat optimis terhadap populasi penyu belimbing saat menemukan banyak sarang di Pantai Wermon, namun kami menemukan fakta bahwa jumlah sarang di lokasi ini pun sudah musnah di level yang sama dengan yang terjadi di pantai Jamursba Medi,” ungkap Peter Dutton, Ph.D Kepala Southwest Fisheries Science Center untuk Marine Turtle Genetics Program.

Penelitian ini menggunakan survey sepanjang tahun di lokasi sarang penyu belimbing sejak tahun 2005, dan ini adalah penelitian paling lengkap yang pernah dilakukan terhadap spesies penyu belimbing hingga saat ini. Dari hasil penelitian ini, tim berhasil mengidentifikasi empat masalah utama yang tengah dihadapi oleh penyu belimbing: pertama adalah predator-predator pantai  seperti babi hutan dan anjing yang seringkali memakan telur-telur penyu; meningkatnya suhu pasir yang bisa membunuh telur-telur penyu ini atau mempersulit proses pertumbuhan tukik; bahaya akibat penangkapan oleh nelayan di saat migrasi; dan resiko ditangkap oleh penduduk setempat untuk diambil daging dan telurnya.

Ricardo Tapilatu, adalah pria asli Papua yang telah mempelajari soal penyu belimbing dan upaya konservasinya sejak tahun 2004. Upayanya telah dikenal luas bahkan oleh lembaga NOAA di AS, Ricardo akan kembali ke Indonesia dan akan memimpin proses konservasi penyu belimbing di tanah kelahirannya setelah ia sukses untuk meraih gelar doktoral dari University of Alamaba. Dia telah berupaya untuk mendidik warga setempat dan membatasi pengambilan penyu dewasa dan telurnya.

Fokus utamanya saat ini adalah melindungi penyu betina yang tengah bersarang, telur penyu dan tukik. Penyu belilmbing bisa membuat 10 sarang setiap musim bertelur, hal ini jauh lebih banyak dari spesies penyu lainnya. Ricardo kini tengah membuat upaya untuk mengoptimalkan kemampuan bertahan telur dan tukik dari serangan predator mereka dan panas yang berlebihan melalui sebuah program pengelolaan pantai. “Jika kita memindahkan sarang ini dari lokasi panas ke tempat penetasan telur, dan membangun pelindung sarang, maka akan meningkatkan kemungkinan menetas hingga 80% atau bahkan lebih,” jelas Ricardo.

Hanya satu tukik dari 1000 yang berhasil tumbuh hingga dewasa, jadi melakukan perlindungan terhadap penyu dewasa akan membuat perbedaan yang sangat signifikan bagi populasi penyu,” ungkap Wibbels. Tim peneliti ini yakin bahwa manajemen pantai yang baik akan bisa menekan penurunan jumlah sarang penyu belimbing setiap tahunnya, namun perlindungan penyu belimbing di perairan saat mereka melintas lautan Pasifik juga hal yang sangat vital untuk menjaga jumlah mereka. Kendati proses kepunahan penyu belimbing ini sudah terprediksi sebelumnya, namun para ahli berharap spesies ini bisa kembali jumlahnya dalam 20 tahun ke depan melalui implementasi nyata dari manajemen pengelolaan yang efektif. [Mongabay]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment