.

Tuntut Penundaan Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE), 27 LSM Nasional dan Internasional Lapor PBB

JAKARTA - Sejumlah LSM hak dan lingkungan, baik di Indonesia maupun luar negeri, telah mendesak PBB untuk menekan pemerintah menunda Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE), sebuah proyek agro-industri raksasa.

Kelompok-kelompok itu mengatakan proyek tersebut mengancam mata pencaharian dari ribuan warga suku di Papua.

Sebanyak 27 organisasi, termasuk Down to Earth di Inggris, Netzwerk Jerman Papua Barat,  Organisasi Pemohon Yayasan Pusaka Jakarta, Yasanto Merauke, Foker LSM Papua Jayapura, Walhi Jakarta, ELSAM Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jakarta,  Greenpeace Indonesia, mengatakan MIFEE mengancam keberadaan suku Malind.

Mereka meminta PBB melalui Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD, Convention on the Elimination of Racial Discrimination) menekan pemerintah untuk menegakan kondisi kerja.

“CERD harus mendorong Indonesia untuk segera menangguhkan semua proyek yang dapat mengancam kelangsungan hidup budaya masyarakat yang terkena dampak dan memberikan dukungan langsung kepada masyarakat adat,” kata pernyataan bersama tersebut.

Para penandatangan mengatakan bahwa proyek MIFEE, sebuah inisiatif yang dirancang untuk meningkatkan produksi tanaman seperti beras untuk mengurangi impor itu, telah mencaplok sekitar 2,5 juta hektar dari total 4,5 juta hektar tanah suku di Kabupaten Merauke sejak diluncurkan tahun 2010.

“Mereka mengalami kehilangan tempat di mana mereka bisa mencari nafkah akibat proyek MIFEE,” kata Yafet Leonard Frany dari Pusaka.

Pemerintah tahun lalu mengatakan akan mengurangi skala proyek itu karena masalah pembebasan lahan.

Franky mengatakan perusahaan-perusahaan pelaksana proyek MIFEE mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp 2000 hingga Rp 300.000 per hektar untuk waktu selama 35 tahun.

Di antara dua dan empat juta pekerja direncanakan akan disedot bila proyek itu membuka sepenuhnya tahun 2015.

“Tapi, masyarakat adat hanya bekerja sebagai buruh kasar – atau tidak diberikan bentuk kerja sama sekali – dengan upah yang lebih rendah,” kata Franky.

Uskup Agung Merauke Mgr Nicolaus Adiseputra MSC, yang pernah dituduh bekerja sama dengan investor, mengatakan bahwa proyek tersebut telah menghancurkan ribuan jiwa.

Masyarakat di sini tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba, banyak perusahaan datang,” kata prelatus itu. [UcanIndonesia]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment