.

Bulan Suci Ramadhan Jadi Saat Untuk Akhiri Kekerasan di Papua

SALATIGA (JATENG) - Dalam rangka merayakan hari ulang tahunnya  yang ke 25 (29 Juli 1988-29 Juli 2013) teater Gerakan Rakyat (Getar), dari  Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Salatiga mengadakan diskusi publik dan berbuka puasa bersama di Aula kampus, pada 29 Juli 2013. Diskusi yang dihadiri ratusan mahasiswa STAIN dan mahasiswaPapua lainnya ini dimulai pukul 15.00 WIB dan berakhir pada pukul 17.30 WIB, dilanjutkan dengan buka puasa bersama di Aula STAIN Salatiga.

Diskusi yang mengambil thema, Duka Bumi Papua, Duka Indonesia ini menghadirkan 4 orang pemateri, yakni Ahmad Badawi, direktur  YLSKAR (aktivis HAM dan Budaya); Eli Ramos  Petege, anggota National Papua Solidarity (NAPAS); Neri, Aktivis Mahasiswa Papua di Salatiga, dan SRI Murtopo Aktivis HAM Elsam Jakarta, namun berhalangan hadir.

"Umat Muslim di seluruh dunia menjalani bulan suci Ramadhan, melalui puasa kita kita meninggalkan hal-hal yang kurang baik untuk menyambut hari raya Idul Fitri, termasuk mengakhiri kekerasan di seluruh dunia, dan tentu saja juga di bumi Papua," kata anggota Getar mengawali diskusi.

"Diharapkan, melalui puasa ini, para aktor kekerasan di bumi Papua sadar diri dan mengakhiri konflik serta negara memaafkan korban kekerasan negara, memberikan rasa keadilan bagi korban dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua dan daerah lainnya," tegas pembawa acara.

Ahmad Badawi, dalam pemaparannya mengatakan, selama ini, pembangunan di tanah Papua bukan diarahkan untuk pembangunan manusia, tetapi lebih pada mempermudah dan memperlancar aktivitas eksploitasi sumber daya alam Papua.

"Pemerintah kurang melaksanakan program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan sumber daya manusia tetapi program lebih memihak pada korporasi yang menguras bumi Papua," kata Ahmad.

Menurut Ahmad, yang paling dibutuhkan saat ini untuk Papua adalah solidaritas bersama warga sipil Indonesia dan Internasional untuk bergerak bersama menghentikan perampasan sumber daya alam  dan kekerasan di bumi Papua Papua.

Sementara menurut Eli Ramos Petege, aktivis Napas, negara Indonesia hadir di bumi Papua dalam bentuk militeristik, represif, otoriter, eksploitatif.

"Saat ini, di bumi Papua menyebar, 16.000 personil aparat negara (14.000 anggota TNI/POLRI dan 2000 anggota intelijen) untuk menjaga dan melindungi aktivitas pencurian SDA dan penindasan terhadap rakyat Papua, mereka bagian integral dari aktor kekerasan dan perampasan SDA Papua," papar Ramos. "Negara harus hentikan pembantaian terhadap manusia Papaua dan perampokan bumi Papua, Segera mengakhiri kekerasan dan perampasan SDA Papua," lanjutnya.

Sementara untuk dunia pendidikan dan kesehatan, kata Ramos, itu sangat menyedihkan. Buta aksara di Provinsi Papua berada di urutan terendah yakni 36,31 persen  dan Papua barat 7,37 persen sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia yakni Provinsi Papua dan Papua Barat berada pada urutan 69 dan 68.

Dalam kasus HIV/AIDS, Papua berada pada urutan pertama di Indonesia.  Menurut release Kemenkes, per 30 April 2013, untuk provinsi Papua, kasus HIV berjumlah 10.881 orang dan AIDS 7,795 dari penduduk Papua 2.833.381 jiwa. Dan provinsi Papua Barat, jumlah Kasus HIV 1.896 + AIDS 187 Orang. Selain itu, kemiskinan pun melilit warga Papua di tengah kekayaan alam yang berlimpah, hal ini juga terlihat dengan jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua 9.44, 79 jiwa dengan presentase 31,98 % + Papua Barat 229.990 jiwa, presentase 28,20 %.

"Dana Otsus yang  dianggarkan sebesar  Rp 44,8 Trilyun (sejak Tahun 2002-2013), dikorupsi habis-habisan oleh elit politik dan birokrasi di Papua dan Jakarta. Terindikasi korupsi dana OTSUS Rp 4,5 trilyun,"  papar Ramos mengutip data BPK, Oktober 2012.

Sementara Neri, aktivis Front Mahasiwa Perjuangan Papua (SMPP) yang kuliah di Salatiga mengungkap juga berbagai kebijakan menyimpang, yang sebenarnya, kata Neri,  telah lahir dari  dasar penyimpangan utama, dimana kehendak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dibungkam oleh todongan senjata RI kala Pepera 1969.

Diskusi ditutup dengan kesimpulan, hanya dialog Jakarta Papua yang mampu meluruskan berbagai persoalan, dengan cara damai dan bermartabat. [MajalahSelangkah]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment