.

Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) Prihatinkan Kebebasan Berekspresi di Papua

JENEWA (SWISS) – Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) kembali menyampaikan pernyataan keprihatinan terhadap pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. Pernyataan ini disampaikan ICP dihadapan sesi 26 sidang tahunan Dewan HAM PBB di Geneva, 11 Juni 2011.

ICP dalam pernyataan ini meminta perhatian Dewan HAM PBB untuk meninjau pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai di Papua, Indonesia. Papua terbatas bagi para pengamat HAM internasional, wartawan asing dan peneliti. Menurut ICP, pada 2013 jumlah tahanan politik meningkat dua kali lipat, jumlah kasus penyiksaan yang dilaporkan dan perlakuan buruk terhadap tahanan meningkat empat kali lipat, dan jumlah kasus yang melibatkan penolakan akses untuk mendapatkan pendampingan hukum dan pengadilan yang adil meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

“Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya kordinasi aktivitas politik damai di Papua Barat hingga memicu respon polisi yang represif, yang mewakili serangan konsisten dan mengkhawatirkan untuk hak berkumpul secara damai. Pada 2013, setidaknya ada 19 kasus penangkapan yang dilakukan untuk mencegah, menangkap atau menghukum pelaku demonstrasi damai. Data menunjukkan peningkatan frekuensi penangkapan secara massal.” ujar Budi Tjahjono, anggota ICP dari Fransiskan Internasional saat menyampaikan pernyataan ICP kepada Dewan HAM PBB.

Kepemilikan Bendera Bintang Kejora, menurut ICP, semakin sering digunakan sebagai alasan untuk penangkapan dan intimidasi. Data terbaru juga menunjukkan bahwa UU Darurat 12/1951, tentang kepemilikan senjata tajam, senjata api dan amunisi, terkadang digunakan juga bersama tuduhan makar untuk meyakinkan pengadilan jika tidak ada bukti yang kredibel atas tuduhan makar.

“Pada 2 April 2014, dua mahasiswa, Alfares Kapisa dan Yali Wenda ditangkap dan disiksa oleh polisi saat keduanya, bersama beberapa mahasiswa menyerukan pembebasan tahanan politik dan membuka ruang demokrasi di Papua dalam sebuah demonstrasi damai. Mereka dipukuli, disetrum, diinjak-injak dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai. Polisi juga melecehkan para mahasiswa dengan menyebut mereka “monyet.” tambah Budi.

ICP menyebutkan, hingga akhir Mei 2014, setidaknya ada 79 tahanan politik di penjara Papua. Tahun 2013 setidaknya ada 42 kasus intimidasi terhadap tahanan yang dilaporkan.

ICP juga menyebutkan wartawan di Papua menghadapi resiko penangkapan, ancaman dan intimidasi. Menurut Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen, AJI) Jayapura, pada tahun 2013, ada 20 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan di Papua. Jumlah ini meningkat dari 12 kasus yang dilaporkan pada tahun 2012.

Situasi pembatasan kebebasan berekspresi ini mendorong ICP merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk melakukan finalisasi amandemen KUHP Indonesia sehingga mematuhi semua perjanjian hak asasi manusia, terutama kriminalisasi dan larangan penyiksaan dan pembatalan Pasal 106 dan 110. Selain itu, pemerintah Indonesia diharapkan meninjau kebijakan kepolisian di Papua dan pelatihan pasukan keamanan untuk memastikan bahwa hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sepenuhnya dihormati. ICP juga merekomendasikan adanya pembebasan tanpa syarat para tahanan politik Papua Barat sebagai bagian dari kebijakan yang komprehensif untuk mengakhiri hukuman kebebasan berekspresi.

“Indonesia juga diharapkan memenuhi komitmennya untuk menerima kunjungan dari Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi dan memfasilitasi akses terbuka dan bebas ke Papua.” tambah Budi.

Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi saat ditemui usai sesi dialog dengan misi negara dan Organisasi Non Pemerintah, mengatakan masalah kebebasan berekspresi di Papua mendapatkan perhatian cukup besar dari dirinya sebagai pelapor khusus. Terutama, karena dirinya sendiri tidak mendapatkan kases untuk mengunjungi Papua beberapa tahun lalu.
“Saya tahu masalah kebebasan berekspresi di Papua. Terima kasih sudah menyampaikan pernyataan yang sangat kuat. Tahun ini mungkin saya tidak terpilih lagi sebagai pelapor khusus untuk Kebebasan Berskpresi. Tapi masalah kebebasan berekspresi di Papua ini akan terus menjadi perhatian pelapor khusus selanjutnya.” kata Frank La Rue kepada Jubi. [Jubi]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment