.

Pentingnya Mengetahui Indikasi Infeksi HIV/AIDS dan Penanganannya

JAYAPURA - Hubungan seks gonta-ganti pasangan, menggunakan jarum suntik narkoba dan transfusi darah bersama-sama adalah perilaku yang menyebabkan terinveksinya virus HIV/AIDS. Demikian anggapan umum untuk memastikan apakah seseorang mengidap HIV/AIDS atau tidak. Selain itu, ada cara lain untuk mengetahui seseorang positif HIV yaitu VCT (Voluntary Counseling and Testing).

VCT merupakan suatu cara untuk mengetahui keadaan seseorang terinveksi HIV/AIDS atau tidak. Namun, yang menjadi hal utama ketika ikut VCT adalah kesadaran seseorang memeriksakan diri atau bersedia untuk diketahui statusnya sebelum konseling dengan konselor. Saat konseling terjadi komunikasi dua arah antara klien dan konselor sehingga klien mendapatkan banyak hal terutama mengenai seluk-beluk penyebaran HIV/AIDS serta meningkatkan pemahaman klien menyangkut tanda-tanda teridentifikasi HIV/AIDS.

Bila proses konseling antara klien dan konselor selesai ada dialog lanjutan soal kesediaan pasien ikut tes HIV. Tes HIV atau testing sebagai perlakuan awal berupa tes kepada klien untuk mengetahui statusnya terinveksi virus HIV. Kejelasan status HIV seorang klien akan ditindaklanjuti baik berupa pengobatan, dukungan moril maupun pendekatan komunikasi persuasif untuk mengubah tingkah laku. Ketika lembaga kesehatan sudah menyediakan VCT ternyata masih ada sebagian orang yang tidak bersedia ikut VCT. Hal ini dijumpai pada pengalaman dokter yang melayani ruang VC T di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura. “Di sini ada klien yang enggan diperiksa karena takut diberi stigma negatif. Dengan alasan itu klien hanya sebatas konseling dengan pihak dokter karena takut dicap sebagai “orang terkutuk” jika ketahuan terinveksi HIV/AIDS,” kata Kepala Klinis VCT RSU Daerah Abepura, Nyoman Sri Antari, di Jayapura, beberapa hari yang lalu.

Walaupun hanya sekedar konseling, kata Nyoman, klien tidak berinisiatif menyampaikan keluhannya walaupun oleh pihak dokter sudah lebih dulu mengetahui tanda-tanda fisik orang terjangkit virus HIV/AIDS. “Umumnya klien masih enggan diperiksa secara suka rela padahal itu perlu diketahui agar ada tindak lanjut dari pihak medis,” ujarnya. Pengalaman dokter yang melayani VCT di RSUD Abepura menunjukkan masih minimnya kesadaran klien untuk lebih terbuka saat diperiksa secara suka rela bila saat konseling dengan konselor. Yang lebih berinisiatif untuk melakukan proses pemeriksaan positif HIV bagi klien malahan dari pihak dokter sementara klien sendiri enggan diperiksa. Meskipun demikian, pihaknya tetap melakukan pendekatan khusus bagi klien agar lebih terbuka dan tidak sungkan saat melaksanakan konsultasi dengan konselor. Menurut dr. Nyoman Sri Antari, ada dua hal yang menyebabkan klien enggan diperiksa yaitu kurang sadar diri dan paradigma lama “stigmatisasi”. Klien kurang menyadiri kalau ada tanda-tanda teridentifikasi positif HIV pada dirimya. Stigmatisasi membuat klien urung niat diperiksa karena berpikir bahwa orang yang mengidap virus HIV positif berujung pada pendiskriminasian oleh komunitas atau lingkungannya.

Pada Tahun 2005 hingga Agustus 2010 jumlah kumulatif pasien yang mengidap HIV/AIDS di RSUD Abepura tercatat 395 orang. Menurut dr. Nyoman Sri Antari penanganan sejumlah pasien tersebut terdiri dari berbagai jenjang baik kaum muda maupun ibu hamil. VCT bagi kaum muda kebanyakan dilaporkan saat konseling karena bermula dari hubungan seks di luar nikah. Yang menjadi aneh menurut Nyoman adalah klien masih terpengaruh dengan pola pikir stigmatisasi bahwa penyakit HIV/AIDS sebagai penyakit aib karena melakukan perbuatan salah.”

Masih ada sebagian orang menganggap HIV/AIDS sebagai aib sehingga untuk berkonsultasi dengan konselor agak susah karena kesadaran dirinya masih rendah. Itu pun kalau diajak konseling tunggu inisiatif dari dokter,” ujarnya. Sebagai suatu pilihan utama, ada beberapa hal yang perlu diketahui manfaat dari VCT sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Pertama, peningkatan perilaku tidak beresiko. Klien yang tidak beresiko biasanya ada perubahan peningkatan perilaku bila stasusnya sudah jelas tidak terinveksi HIV/AIDS. Dalam hal ini klien mengetahui bagaimana model penyebaran HIV/AIDS melalui konseling sehingga bisa menghindarinya melalui perubahan tingkah laku. Kedua, pencegahan segera. Klien diberi pencegahan bila dalam dirinya ada gejala-gejala awal terinveksi virus HIV/AIDS. Setidaknya gejala ini bisa dicegah melalui penanganan lebih lanjut para medis baik berupa bentuk perawatan maupun pendekatan komunikasi berupa dorongan moril kepada klien. Ketiga, peningkatan kualitas hidup ODHA.

Dijelaskan, orang yang menjalankan tes HIV/AIDS tidak bisa dipaksa tapi harus dijalani dengan suka rela. Sebelum tes klien mendapatkan konseling terlebih dahulu melalui percakapan rahasia dengan konselor (petugas perawatan). Konselor dapat membantu mengatasi kekhawtiran dan membuat keputusan pribadi yang sehat terhadap klien. Dalam konseling seorang klien dapat membicarakan semua kekhwatiran dan perasaannya terkait tingkah laku dan kondisi lingkungan sekitarnya. Klien dapat memutuskan secara suka rela menjalani tes HIV/AIDS melalui pengambilan darah setelah melewati proses konseling. Namun konseling juga dapat dilakukan setelah hasil tes diperoleh, baik HIV positif maupun negatif.

Untuk mendapatkan hasil HIV positif atau negatif dilakukan proses pengambilan darah dari pembuluh tangan untuk diuji di laboratorium apakah ada antibodi terhadap HIV. Tes ini bersifat suka rela dan rahasia. Penderita HIV positif biasanya diberi ARV (Anti Redro Virus) yang dapat diperoleh dari dokter ahli atau rumah sakit umum. Obat ini tidak dapat menyembuhkan HIV tetapi dapat menunkan jumlah virus dalam tubuh sehingga bisa bertahan hidup relatif lebih lama.

Tes HIV memiliki kegunaan yaitu dengan tes HIV kita mengetahui status HIV sejak dini agar bisa menjaga kesehatan dan masa depan dengan lebih baik. Bila tahu status HIV sejak dini, baik hasilnya positif maupun negatif maka kesehatan dapat dijaga dengan perilaku sehat melalui memperbaiki pola makan, pemakain obamt dan kebersihan. Biasanya gejala awal penyakit AIDS penderita adalah seseorang terkena virus HIV lebih awal tanpa menunjukkan tanda yang jelas. Penderita hanya mengalami demam selama 3 hingga 6 minggu tergantung kekebalan tubuh penderita kontak dengan virus HIV. Penderita HIV kembali ke kondisi membaik atau sehat selama beberapa tahun dan perlahan daya tahan tubuh mulai lemah sehingga menimbulkan sakit karena ada serangan demam berulangkali.

Di Jayapura ada beberapa lembaga atau tempat rujukan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan konseling dan testing suka rela untuk HIV/AIDS antara lain RSUD Abepura, RS Dian Harapan, RSUD Jayapura, Klinik Kespro Yayasan Kesehatan Bethesda, Balai Pengobatan Christami Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YKPM), Yayasan Harapan Ibu (YHI) Papua, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBII), Kelompok Kerja Wanita (KKW) Papua dan Jayapura Support Group. (Jubi)
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment