.

Misionaris Masih Mengakui Orang Wiselmeren

NABIRE – ‘Orang Barat’ sebutan bahasa Ekagi bagai para misionaris yang pernah bertugas di seluruh wilayah Pegungungan Tengan Papua (dulu Irian Jaya), masih saja mengakui adat istiadat. Kebiasannya mulai dari badan telanjang tanpa busana pakaian, pekerjaan keseharian seperti kebiasaan cari kuskus berudu di kali juga masih pakai koteka dan moge. Kebiasan itu berlaku secara turun temurun hingga bertahan sampai sekarang.

Seperti dikatakan anggota Panel Papua, Yones Youw kepada media ini di Plasa  Telkom, Jumat (2/3), orang Wiselmeren sejak pada kemajuan seperti sekarang ini, masih saja belum bisa pakai pakian, sepatu, tetapi masih saja berbusana tradisional koteka dan moge. Hal ini dilakukan demi mempertahankan budaya peradaban sebagai jati diri mereka. Maka mereka Egaki “Mepago“tidak bisa dipengaruhi kebudayaan dunia barat. Keberadaan mereka masih saja diakui oleh misionaris dunia barat, dan justru mempertahankan kebudayaan itu.

Dunia dewasa ini dengan berbagai dinamika perkembangan dan kemajuan, seakan kita dipaksakan “kehendak mepago“melalui pemekaran kampung hingga distrik ditambah provinsi ini. Rasanya masyarakat bukan berusaha berjuang untuk piara ternak, kewajiban berkebun, kebiasaan yang dilakukan menjadi warisan leluhur itu. Kita tidak bisa ditinggalkannya, namun dihidupkan sehingga mepago jangan lagi santai “tona“ saja tanpa bekerja hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah.

Yones Douw membantah kebiasaan buruk yang dilakukan warga anak kandung dibiarkan untuk tidak membantu bapak dan mamanya dengan tugas rutin di rumahnya. Kebiasaan bolos tidak belajar meniru cara hidup orang tua. Namun kadang diisi dengan tindakan sia–sia seperti menghisap aibon, minum minuman keras (alkohol) yang sifatnya mematikan dirinya itu.

Sebagai tuntutan kepada orang tua, saat ini karena dengan pemberian senjata angina (cis) menghabiskan semua burung langka di pedalan itu. Dianjurkan kepda kepala kampung untuk warganya membatasi pembelian senjata angina di kota Nabire dan mengambil tindakan tegas kepada mereka. Karena hal itu menyangkut perlindungan satwa yang memang ada undang–undangnya.
Tegas Yones Douw, hal demikian “mepago“ tidak menghendaki untuk tidak mudah merubah tatanan hidup tetap dijaga budaya seperti itu. Seperti prinsipnya, bila orang tua ke kebun pagi berangkat noken (agiya) kosong namun pulang mensi banyak hasilnya. Tunas keladi dan ubi tidak pernah mati (busuk), namun tumbuh dari generasi ke generasi.

“Filosofi inilah yang dikembangkan. Misionaris yang pernah buka isolasi daerah mereka tinggalkan dan pulang ke negaranya. Ia bawa keju di wisel namun sampai hari ini kita masih makan “nomo“ keladi,” tuturnya. [A1]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment