.

Stigma Orang Papua sebagai Separatis adalah Bagian dari Politisasi Negara

KOTA JAYAPURA - Menyusul pernyataan Gubernur Provinsi Papua,  Lukas Enembe, yang menyatakan dirinya tidak ingin mendengar Gereja Papua disebut separatis, sebagaimana disampaikan pada acara penutupan rapat  kerja Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua di Aula Gereja KINGMI di Sentani, Jumat (12/07/2013) lalu, mendapat tanggapan  dari  Aktivis dan Pejuang HAM Papua Mathius Murib.

Dikatakan Mathius Murib, stigma separatis kepada orang Papua adalah  bagian  dari politisasi, diantaranya untuk tak menangani kasus dugaan pelanggaran HAM dan mengadili  pelakunya di Pengadilan HAM di Papua.

“Seharusnya jangan dipolitisir, tapi lihatlah kasus apa adanya, obyektif, ada korban, ada saksi, ada bukti hukum. Kalau seluruhnya sudah memenuhi unsur-unsur  pelanggaran HAM  harus diadili.  Tak  bisa karena stigma  lalu  berhenti,” ujar  Aktivis dan Pejuang HAM Papua Mathius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Minggu (14/07/2013) petang.

Dikatakan alasan itu  secara  umum ada dua. Pertama, alasan teknis seringkali  kita dengar Kejaksaan Agung berpendapat  temuan Komnas HAM kurang lebih ke masalah teknis dan administrasi.

“Silakan masalah  teknis  dan administrasi penting, tapi lebih penting dari itu adalah kasusnya, karena sampai kini korban dan keluarganya  hingga  kini sedang menunggu nasib dari kasus  tersebut,” imbuhnya.

Kedua,  saya duga dihubungkan orang Papua distigmatisasi sebagai  separatis dugaan alasan lain alasan politik. Itu yang kuat  sehingga  negara ini belum  berani memutuskan kasus  tersebut karena alasan stigma separatis kepada orang Papua.

“Kami sebagai  aktivis dan pejuang HAM serta  keluarga korban  tidak akan pernah lupa. Waktu silakan berjalan, perubahan silakan  terjadi  tapi untuk melupakan  kasus tersebut  tak mungkin. Sampai kapanpun akan terus disuarakan. Pemerintah harus  terus didesak untuk mengambil  sikap  yang  pasti dan  resmi melalui mekanisme hukum  yakni di Pengadilan  HAM,”  cetusnya.

Sehubungan stigma  dalam  kasus  Wasior dan Wamena, kata  Mathius Murib, pihaknya  menduga  pemerintah selalu menstigma dan mempolitisir  orang-orang  tersebut  yang  menjadi  korban  karena  sudah dilabelkan dengan stigma separatis, akibatnya hak-hak  mereka sebagai warga negara kemudian tak  bisa diperjuangkan.

Mathius Murib menegaskan,  fakta  ideologi Papua merdeka akan  terus ada selama orang Papua tinggal dan hidup di negeri ini.  Ideologi  tersebut jadi legitimasi pemerintah untuk memberi stigma separatis kepada orang Papua. Padahal  apabila Papua adalah bagian dari NKRI. Karena itu, WNI yang  adalah orang asli Papua seharusnya tak boleh distigma separatis.

Mathius Murib mengatakan, aktivis dan pejuang HAMdiseluruh Indonesia, bahkan di Australia, Belanda dan beberapa negara di Eropa secara  serentak  menyalakan lilin selama satu setengah jam di pinggir jalanpada  Minggu (14/07/2013) pukul 20.00-21.30 WIT, untuk  kampanye sepuluh tahun,dua  dari sembilan kasus pelanggaran HAM ditelantarkan atau diabaikan di Indonesia, masing-masing kasus Wasior  2001 dan Wamena 2003, yang  memakan  korban puluhan masyarakat asli Papua.

“Acaranya memegang  poster  dan menyalahkan lilin, untuk mengingatkan negara  lalai dan abai menangani kasus pelanggaran HAM  di Wasior dan  Wamena,” tegas Mathius Murib.

Dikatakan  Mathius Murib, kasus  Wasior dan kasus Wamena telah dibuktikan oleh Komnas HAM. Bahkan Komnas HAM  telah  pula melakukan  penyelidikan seluruh unsur-unsur  tentang dugaan pelanggaran HAM itu terpenuhi. Padahal  yang  harus dilakukan kasus  tersebut  diadili di Pengadilan HAM di Indonesia. Tapi sejak  tahun 2003 kasus tersebut mengambang dan nasibnya  tak jelas.

“Pemerintah harus menjelaskan alasannya karena ini adalah bagian  dari pertanggungjawaban lembaga negara,”  tukas Mathius Murib. [BintangPapua| BintangPapua]
Bagikan ke Google Plus

0 comments:

Post a Comment